Posted : 23 Mei 2010
Oleh : Jambi Independent Online
Dilihat 25,780 kali
Tags : Sentra kerajinan perak | Cara Membuat Kerajinan Perak | KerajinanPerak | Perak | Kotagede | Studio 76 | Perajin Perak Kotagede | Membuat Kerajinan Perak
Sentra kerajinan perak telah lama menjadi daya tarik wisata di Kotagede, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Banyak wisatawan asing yang datang ke sana untuk mencoba menjadi perajin. Yang ingin belajar secara kilat biasanya datang ke Studio 76. Dalam tempo 3-4 jam, bule-bule itu telah bisa menciptakan sebuah perhiasan perak.
Berwisata ke Yogyakarta, rasanya, kurang afdal bila tidak mampir ke sentra kerajinan perak di Kotagede. Gerai-gerai penjual kerajinan perak men-display pernak-pernik dan aneka hiasan kreasi warga setempat dengan cara yang memikat mata. Mulai cincin, anting, gelang, hingga pajangan berhias rangkaian perak yang rumit, semua ada.
Meski kerajinan perak Kotagede dikenal berkualitas bagus, harganya miring dan bisa ditawar. Maka, dalam tiap transaksi, tak jarang ditemui pemandangan bargaining atau tawar-menawar (istilah Jogja: nyang-nyangan) antara wisatawan dan penjual di kawasan tersebut. Selain mengagumi seni kerajinan perak, sebagian wisatawan mancanegara justru menaruh minat pada cara membuatnya.
Minat para wisatawan asing itulah yang ditangkap dengan baik oleh Agus Budianto, pemuda Kotagede. Dia membuka Studio 76 yang khusus mengajarkan pembuatan kerajinan perak dalam waktu singkat. "Angka 76 sesuai dengan tahun lahir saya," ujar Agus ketika ditemui di studio itu Senin lalu (22/3). Dari segi lokasi, Studio 76 sebenarnya relatif tidak strategis, bahkan cenderung ngumpet. Letak persisnya di samping sebuah kompleks kuburan. Meski begitu, studio milik pria yang rambutnya dikucir tersebut sudah cukup terkenal. Di kawasan Kotagede, semua warga tahu tentang studio itu. Di samping itu, Agus patut berbangga. Sebab, studio tersebut sudah dimuat dalam buku wajib para traveller dunia, Lonely Planet edisi Indonesia dan Asia Tenggara. Di situ dijelaskan secara komplet mulai lokasi, daya tarik tempat, hingga lama kursus.
Dengan begitu, wisatawan asing yang ingin berguru kepada Agus tidak susah mencari lokasi itu. Tidak heran, Studio 76 selalu ramai dengan pengunjung dari berbagai belahan dunia. Namun, ada satu informasi yang kurang dari artikel dalam Lonely Planet tersebut. "Seharusnya juga ditulis, kalau ingin mengikuti kursus, harus janjian dulu. Sebab, yang datang banyak. Selain itu, kalau pagi, saya kadang punya kerjaan lain sehingga baru bisa ngajar sore," papar Agus.
Melihat ke dalam Studio 76, kesan pertama adalah bersih dan rapi. Meski lantainya terbuat dari plesteran semen, barang-barangnya tertata dengan rapi.
Ruang studio tersebut memanjang ke belakang. Ada tiga meja berukuran besar yang ditata berjajar. Setiap meja bisa memuat 6-8 orang. Di sisi samping kiri dan kanan meja terdapat jajaran laci berisi peralatan. Di samping laci ada tonjolan berupa kayu berukuran kecil. “Itu buat ngikir perak," jelas pria 33 tahun tersebut.
Di bagian depan terpasang sebuah whiteboard, sedangkan di sampingnya terdapat beberapa foto mantan murid Agus. Peralatan lain, seperti mandrel, yakni alat untuk membuat lingkaran cincin atau patri, diletakkan di bawah. Sebuah wastafel untuk mencuci perak dengan lerak (bahan pencuci tradisional) berada di belakang ruang. Sementara itu, di bagian depan studio tersedia dua kamar kosong yang bisa ditempati para murid yang ingin menginap.
Tidak sedikit murid yang mengikuti kursus lebih dari sehari, memilih menginap di studio alumnus jurusan kriya logam Institut Seni Indonesia (ISI) itu.
Yang menjadi daya tarik utama studio yang dirintis sejak 1999 tersebut adalah waktu kursus yang sangat singkat. Hanya 3-4 jam, para murid sudah bisa menciptakan sebuah kerajinan perak sederhana, seperti cincin, liontin, atau anting-anting. Dalam waktu sesingkat itu, mereka diajari cara membuat desain, menentukan ukuran, mematri, menghaluskan, hingga memoles dengan lerak. "Untuk ukuran pemula, memang dibutuhkan waktu hingga tiga jam. Kalau sudah biasa bikin, cukup setengah jam, jadi," ujar ayah satu putri tersebut.
Selain itu, biaya kursus cukup terjangkau. Setiap murid dikenai biaya Rp 150 ribu. Namun, semakin banyak murid yang ikut, harganya makin murah. "Kalau 2-3 orang, hanya bayar Rp 125 ribu per orang. Jika satu grup ramai-ramai sampai empat orang, hanya Rp 100 ribu per orang," papar suami Yustiana tersebut. Untuk jadwal kursus, terdapat tiga pilihan durasi, mulai pukul 09.00 hingga 20.00. "Yang terpenting, buat janji dulu biar lebih pas," imbuh pria murah senyum tersebut.
Pria kelahiran 21 Agustus 1976 itu menuturkan, kebanyakan muridnya adalah wisatawan asing yang memang menjadikan studio tersebut sebagai destinasi atau tujuan wisata. "Hampir 90 persen turis asing wanita. Ada yang berkelompok atau ditemani pacar mereka. Yang paling banyak berasal dari Belanda, Prancis, dan Inggris," jelas dia. Ada juga beberapa sekolah internasional yang mengajak murid-muridnya membuat perak saat libur.
Agus yang besar dalam keluarga perajin perak tersebut tentu tidak kesulitan dalam mengajarkan cara membuat kerajinan itu kepada murid-muridnya. Dia juga tidak terkendala dengan bahasa pengantar dalam mengajar. Di balik penampilan yang sederhana, pria yang juga seorang tour guide tersebut fasih berbahasa Inggris, Prancis, dan Belanda. "Tapi, kalau turisnya orang Jepang atau Korea, kadang juga kesulitan. Apalagi, bahasa Inggris mereka kurang fasih," imbuh pria yang sedikit menguasai bahasa Mandarin itu.
Namun, adakalanya kelas kerajinan tersebut terpaksa dioperkan kepada sang ayah jika Agus harus memandu rombongan turis asing hingga luar kota. Sang ayah yang tidak memiliki kemampuan berbahasa asing seperti Agus tidak jarang mengalami kesulitan.
Karena itu, bila bertemu dengan turis yang agak "bawel", sang ayah menelepon Agus. "Iki piye? Panjalukane macem-macem, ra dong aku (Bagaimana ini, permintaannya macam-macam, nggak ngerti saya, Red)," ujarnya menirukan ucapan sang ayah. Kalau sudah begitu, Agus berupaya pulang lebih cepat.
Mengajar ribuan wisatawan asing, ada segudang pengalaman menarik bagi Agus. Salah satunya terjadi ketika dia mengajar seorang warga Kanada yang bekerja di Jakarta. Sebut saja namanya Kate. Saking antusiasnya, setahun kemudian giliran kakak wanita Kate dari Kanada yang berkunjung ke Studio 76. "Dia bilang dengar dari Kate bahwa di sini bisa bikin kerajinan perak yang indah," papar Agus yang memiliki buku tamu sebagai database para muridnya tersebut.
Setahun berikutnya, adik bungsu Kate tak ingin ketinggalan. Dia ikut menimba ilmu kerajinan perak seperti kedua kakaknya. Belum berhenti sampai di situ, dua tahun kemudian kedua orang tua Kate berguru kepada Agus. "Ya sama, semuanya diberi tahu Kate," ucap dia lantas terbahak.
Ada pengalaman yang menyenangkan, ada juga yang menjengkelkan. Agus mengisahkan, ketika itu ada empat wisatawan dari Australia. Mereka datang malam. Begitu sampai di Studio 76, salah seorang di antara mereka mengeluarkan sebuah kerang berukuran besar. Kerang tersebut lantas dipukul dengan sebuah martil. "Nah, mereka minta pecahan-pecahan kerang itu diberi ornamen perak satu-satu. Ya saya bilang bahwa itu tidak mungkin dilakukan dalam waktu tiga jam. Paling tidak, dibutuhkan waktu sebulan untuk pemula seperti mereka," imbuh dia. Agus butuh waktu cukup lama untuk menjelaskan hal tersebut kepada rombongan itu. "Sampai seorang turis Jepang yang waktu itu juga ada kelas ikut menjelaskan. Lha, mereka ngotot terus," terang dia.
Ada juga kisah sepasang wisatawan asal Belanda. Wanita yang belajar di tempat Agus tersebut ditemani sang kekasih. Si turis belajar mulai pukul 18.00. Pada awal pengerjaan, semua berjalan lancar. Namun, pada tahap finishing, ketika dia memanaskan cincin yang dibuat, Agus lengah. Karena terlalu lama, cincin tersebut pecah jadi empat. Melihat itu, si wisatawan menangis dengan keras. Sang guru pun bingung. Dia lantas mengambil alih. Empat bagian tersebut dia sambung. "Jadi, cincin yang seharusnya hanya punya satu sambungan, ini ada tujuh. Selain itu, saya terpaksa lembur sampai pukul 23.00," lanjut dia.
Kenyang dengan pengalaman menghadapi warga asing membuat Agus makin bersemangat dalam mengembangkan usaha itu. Dia menuturkan, dengan banyaknya murid asing yang berguru kepadanya, mereka jadi lebih menghormati para perajin perak Kotagede. "Sekarang mereka mikir kalau menawar, harganya nggak terlalu rendah. Sebab, mereka tahu, tidak mudah membuat kerajinan perak," tegasnya.(jpnn)