Manufaktur dan Ritel Kerajinan Perak Kotagede - Yogyakarta
Kadar perak dalam produk kami adalah 92,5 % (Silver 925). Sehingga warna produk kami tidak berubah menjadi HITAM. kecuali produk berlapis perak (plated-silver)
LEBIH MURAH, karena kami punya pengrajin profesional sendiri.
ASURANSI PENGIRIMAN, Anda akan mendapatkan nomer pelacakan dan asuransi barang untuk menghindari kerusakan dan kehilangan
Selamat datang, silakan login. Belum jadi member? Daftar
Posted : 05 September 2010 Oleh : KOMPAS.com Dilihat 20,253 kali
Tags : Kota Gede | Kotagede | Kotagedhe | yogyakarta
KotaGede adalah nama sebuah kawasan di Provinsi DI Yogyakarta yang terletak di dua wilayah administratif, yaitu Pemerintah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Ketika gempa berskala 5,9 skala Richter mengguncang Yogyakarta pada tahun 2006, kawasan ini terkena dampak yang parah. Berbagai bangunan tradisional di sini, khususnya rumah joglo, setengah hancur bahkan lebur tak berbekas.
Kota Gede terletak sekitar 10 km arah tenggara Kota Yogyakarta. Di kawasan ini kerajinan perak pernah menjadi primadona. Kini perajin perak sedang kembali digalakkan oleh tim dari Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama Jogja Heritage Society (JHS).
Perkara bangunan, untunglah segera setelah gempa, bantuan dunia segera meluncur, membangun kembali apa yang masih bisa dibangun kembali, direkonstruksi. Tim JHS bersama komunitas lokal yang tergabung dalam Organisasi Pengelola Kawasan Pusaka (OPKP) Kota Gede, dengan bantuan dana asing Java Reconstruction Fund(JRF), berjalan bersama membenahi kawasan tua itu.
Namun ternyata, dalam perjalanan ditemukan berbagai kendala yang terkait dengan belum adanya pemahaman tentang pelestarian pusaka khususnya pada tingkat eksekutif, pada tingkat perencana kota. Hal ini sebenarnya tak hanya menjadi masalah di kawasan Kota Gede, tapi juga di kota-kota yang sudah masuk dalam Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI), yaitu Sawahlunto, Solo, bahkan Jakarta Barat dan Utara. Belum adanya pemahaman dalam penyusunan master plan kota pusaka yang merupakan sebuah formulasi kekuatan pusaka, baik alam, budaya, maupun benda (intangible) kemudian membuat Badan Pelestari Pusaka Indonesia (BPPI) menggelar rangkaian Pelatihan Penyusunan Master Plan Kota Pusaka di tiga kota, Sawahlunto, Kota Gede, dan Denpasar.
Dalam pelatihan itu peserta mendapat masukan dari Lord Donald Hankey, Presiden International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) UK, yang juga perancang perkotaan dan Katrinka Ebbe dari World Bank Washington yang ahli pusaka tak benda.
Persoalan di kawasan cagar budaya Kota Gede yang merupakan bekas ibu kota Kerajaan Mataram dan dibuka pertama kali oleh Ki Ageng Pemanahan di abad ke-16 tampaknya tak terlalu jauh berbeda dengan persoalan di kawasan Kota Tua Jakarta, yang juga kawasan cagar budaya, dan juga mulai dibangun sekitar abad ke-16.
Sebut saja persoalan pendataan bangunan bersejarah di kawasan itu yang ternyata belum ada, hilangnya bangunan Joglo karena dijual si pemilik dengan alasan masalah keuangan, bahkan bangunan Joglo ini pindah ke tempat lain. Kejadian yang sama terjadi di kawasan kota tua yang di dalamnya ada bangunan tua yang kayu penyangganya pelan-pelan lenyap, dan juga data bangunan di kawasan kota tua Jakarta yang juga belum lengkap.
Demikian juga pendataan terhadap pusaka tak benda seperti warisan kuliner, kerajinan, tarian, musik, ritual, prosa, dan permainan anak. Nyatanya, Pemerintah Kota Yogyakarta dan Pemerintah Kabupaten Bantul yang menjadi penguasa Kota Gede belum memiliki daftar. Demikian pula yang terjadi di kawasan tua di ibu kota Indonesia. Masih banyak hal yang kurang lebih sama terjadi di sesama kawasan tua ini, yang satu di Provinsi DI Yogyakarta, satu lagi di Provinsi DKI Jakarta yang mengaku sebagai metropolitan bahkan megapolitan.
Barangkali perbedaan antarkedua kawasan bersejarah itu adalah master plan Kota Tua Jakarta sudah dibikin meski belum sempurna dan tak jelas keberadaannya, tak jelas pula apakah sudah mengikutsertakan stakeholder terkait dalam rangka pemahaman pentingnya pelestarian dan revitalisasi lingkungan cagar budaya. Pasalnya, dalam lingkungan cagar budaya tak melulu berisi bangunan tapi juga, seperti yang ditekankan Katrinka Ebbe, pusaka tak benda sebagai identitas kawasan.
Tak jelas benar apakah sebelum membuat master plan Jakarta, pihak pembuat master plan sudah mendaftar kekayaan pusaka tak benda yang tersebar di kawasan Kota Tua Jakarta, tak jelas pula apakah juga sudah ada daftar bangunan bersejarah dengan klasifikasi yang diperlukan, atau sudahkah mengikutsertakan pemilik bangunan tua dalam rangka pembuatan master plan. Selain hal di atas, serta dukungan pemerintah, tentunya juga tak melupakan keberadaan perajin, seniman, dan orang-orang yang memberi warna kawasan, tetapi sering kali malah terlupakan atau sengaja dilupakan.
Kembali kepada perbedaan, Kota Gede belum memiliki master plan. Mereka kini sedang dalam proses membuat rancangan, merekomendasikan apa yang patut menjadi perhatian pemerintah dalam rangka pelestarian kawasan. Itu pun diasumsikan jika pemerintah sudah punya kesadaran untuk memasukkan kawasan pelestarian sebagaimana kawasan hijau, kawasan perdagangan dalam struktur kota.
Komunitas dan penggiat pelestarian pusaka di Kota Gede sudah berjalan bersama dan membuahkan hasil yang nyata, meski, sekali lagi, belum sempurna. Setidaknya sudah ada konsensus bersama bahwa setelah kehancuran akibat gempa, masyarakat menginginkan kawasan itu dikembalikan seperti semula, bukan kemudian dihancurkan dan dibangun Kota Gede yang baru.
Bangunan joglo tipe gantung tertua, dari tahun 1770-an yang rata dengan tanah, bisa direkonstruksi; menggiatkan perajin perak dengan pemahaman akan pentingnya desain, mutu, dan pemasaran; sedikit demi sedikit mengajak warga untuk memahami betapa pentingnya berbagai pusaka di Kota Gede, baik bagi keberlangsungan kawasan itu, maupun bagi perkembangan ekonomi warga di kawasan itu.
Di kota tua Jakarta, komunitas masih terpisah dan belum ada visi dan misi yang sama. Penggiat pelestarian pusaka di Jakarta pun belum ada. Belum pernah ada penelitian tentang pusaka tak benda yang ada di kawasan ini.
Atau barangkali harus digoyang gempa dulu, baru pemerintah, warga, akademisi, dan seluruh elemen masyarakat Jakarta mungkin merasa punya kepedulian akan keberlangsungan pusaka di Jakarta. Kemudian bisa bergerak bersama, membentuk wadah penggiat pusaka, dan mengesampingkan kepentingan individu atau kelompok. Mungkin juga tidak sama sekali, jika yang menempel lekat di ujung sel-sel kelabu otak hanya keuntungan, materi semata, baik bagi kocek pribadi, maupun kelompok.
Disclaimer : Komentar yang mengandung SARA, kata kotor, cacian dan sebagainya akan dihapus oleh kami tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, terima kasih.